Friday 4 October 2013

Review for "Omen"

Omen

My rating: 5 of 5 stars

Buku ini kubaca setelah selesai baca Teror dan kawan-kawannya. Ternyata, aku suka. Oke, mungkin tokoh dalam cerita ini karakternya gak sekuat yang ada di Johan series, tapi aku suka. Kenapa ya, Eliza dan Erika bisa bertolak belakang banget banget banget sifatnya? Seenggaknya, ada satu atau dua sifat mereka yang sama, gitu. Soalnya, setahu aku, ikatan batin antara anak kembar itu lebih kuat daripada ikatan batin saudara kandung biasa yang sekedar kakak adik aja. Nah, terus, aku heran kenapa mereka bisa suka sama orang yang sama; Ferly. Cowok kayak gitu kok, direbutin, sih... masih banyak cowok lain kan, di sekolah itu. Bahkan di sisi Erika ada tiga orang cowok...


Bicara soal Eliza yang berusaha sempurna, entah kenapa aku kurang sreg sama tokoh yang satu ini. Semua serba sempurna, emangnya bisa? Yang namanya manusia itu gak akan pernah bisa jadi sempurna sekeras apapun dia mencoba. Udah kodratnya manusia itu sebagai tempat salah dan lupa, selamanya gak akan bisa sempurna. Itu yang aku gak suka dari prinsip Eliza. Selain itu, aku juga gak suka sifat Eliza yang pendendam... buktinya, dia niat banget sampai melukai orang-orang cuma demi ambisinya bikin Erika terpuruk. Erika aja yang dari dunia asalnya udah nakal edan gak sampai segitunya, berarti Eliza itu nakalnya udah lebih, dong? Eh, jahat deh, bukan nakal lagi...

Erika yang nakal kukira emang nakal dan parah banget, gak taunya, dia jauh jauh jauuuuuuuh lebih mending daripada saudara kembarnya. Aku suka gimana seenaknya dia dalam berbuat, gimana dia ngomong asal ceplos even ke si Ojek, gimana dia bertahan menghadapi orang tuanya yang udah ngecap dia sebagai "pembunuh anak kesayangan mereka di dunia", dan sebagainya. Aku sedih waktu ngebaca pengorbanan temen-temen cowoknya yang sesama berandal itu... mereka bikin "seolah-olah" mereka dipukulin, padahal aslinya Erika juga sakit hati waktu mukul mereka. Itu... gimana, ya? Seneng aja liatnya, walau yaaah, mereka harus "seolah-olah" nyelamatin penjahat yang ternyata bukan dia.

Ojek alias Viktor Yamada... ya ampun, dia orangnya kayak gimana, sih? Ganteng, tajir pula, kayaknya keren banget. Tapi... sayang, nyebelinnya maksimal juga. Jadi, emang kegantengan dan ketajirannya dilengkapi dengan betapa nyebelinnya dia. Sedih, tapi mau gimana? Namanya juga manusia; gak ada yang sempurna.

Aku sebel ngeliat betapa so sweet-nya Vik ke Erika... mereka lucu deh, kalo udah debat yang gak jelas mana awalnya dan mana akhirnya. Pokoknya, mereka tetep lucu di mataku (meski setelah baca Tujuh Lukisan Horor ternyata aku lebih suka Les-Val dibanding dua anak ini). Dan mereka sama-sama kuat, serem ngebayanginnya...

Yang paling aku suka dari cerita Lexie itu pergantian sudut pandang orang yang terkadang jomplang. Dari Val ke Erika, itu kan, jelas-jelas berbeda jauh. Sayang, di Omen ini, aku gak menemukan pergantian sudut pandang sesering yang kutemukan di Obsesi, Permainan Maut, dan Teror. Itu sih, satu point yang sayang banget gak ada di sini.

Aku tetap suka cerita Lexie kayak biasa. Buatku, ceritanya gak ketebak dan selalu bikin aku ikut deg-degan. Entah cuma aku yang lebay atau gimana, yang jelas aku emang suka. Efek yang dikasih kata-kata dalam novelnya itu bikin aku terbang dan untuk sesaat meninggalkan semua jejak-jejakku di bumi. Seolah-olah, aku ada di sana, menyaksikan mereka, tapi gak bisa apa-apa.

Dua jempol buat Omen.

No comments:

Post a Comment