Hai, namaku Ditya. Aku punya sebuah kisah sederhana.
Sebuah kisah mengenai aku dan sahabatku, Ditya. Tunggu, nama kami memang sama,
tapi kami berbeda jauh. Aku perempuan, sedangkan dia laki-laki. Kepribadian
kami juga berbeda jauh. Ditya adalah seseorang yang dapat meramaikan suasana,
berbeda denganku yang cenderung diam dan tertutup.
Aku dan Ditya sudah berteman sejak kami kecil. Yah,
cerita awalnya sih, Ditya menolongku yang tersandung akar pohon dan masuk ke
lumpur. Ditya membantuku berdiri, menyuruhku duduk di bawah sebuah pohon,
kemudian berlari ke rumah putih megah yang entah milik siapa. Beberapa menit
kemudian, Ditya keluar sambil membawa kotak P3K dan pakaian ganti. Setelah
mengganti pakaian dan mengobati luka-lukaku, kami duduk bersama dan berkenalan.
*
“Aku Ditya,” katanya memperkenalkan diri. “Kamu?”
Aku tertawa kecil sebelum menjawab, “Aku juga Ditya.”
Ditya tertawa. “Kalo gitu, seneng ketemu kamu, Kembaran.”
“Aku juga.”
*
Itulah pertama kalinya aku bertemu dengan Ditya. Waktu
itu, kami masih berumur tujuh tahun. Ditya tidak mempermasalahkan nama kami
waktu itu. Tapi, sejak kami berumur sepuluh tahun, Ditya jadi mudah sewot dan
memaksaku supaya dia boleh memanggilku Tya. Karena dia memaksa, akhirnya aku
terpaksa setuju lantaran Ditya mengancam tidak akan berteman denganku lagi jika
aku menolak. Huh, dasar menyebalkan.
Sialnya, kami sekelas ketika SMP. Gara-gara Ditya,
anak-anak sekelas, senior, bahkan guru-guru ikut memanggilku Tya! Akhirnya, aku
terpaksa menerima panggilan itu. Yah, itu semua gara-gara Ditya. Sabar...
sabar...
“TYAAA!” panggil seseorang. Dari suara dan vibranya, aku
yakin suara cempreng itu pasti Ditya.
“Apa?” balasku sambil menoleh padanya.
“Aku punya kabar gembira! Aku seneng banget!”
“Kenapa?” balasku lagi.
“Aku diterima di klub broadcast
sekolah!” seru Ditya antusias. “Aku mulai kerja besok!”
“Oh, ya? Selamat,” ucapku sambil tersenyum kecil.
“Jadi... kamu pegang acara apa?”
“Pembacaan surat, dong,” jawab Ditya bangga. “Kamu kalo
kirim salam ke siapaaa gitu bisa, kok.”
Aku terkikik. “Boleh deh, nanti kupikirin lagi.”
“Kesempatan langka loh, Ty,” kata Ditya. “Soalnya gak
semua surat aku bacain pas siaran. Kamu kan, temen aku, makanya bakal selalu
aku baca kalo kamu kirim.”
Aku tersenyum. “Iya, nanti kalo aku kirim surat, aku
kasih tau kamu.”
“Nah, gitu dong, Ty,” kata Ditya. “Aku janji bakal baca
suratmu, kok.”
Aku mengangguk. Hmm... apa aku akan benar-benar mengirim
surat?
*
Keesokan harinya, lebih tepatnya setelah pulang sekolah, aku
menyalakan radio. Lebih tepatnya, bersiap mendengarkan siaran Ditya. Ditya
sudah memintaku—bahkan sampai memohon-mohon—supaya aku mau mendengarkan
siarannya. Yah, tanpa diminta juga sebenarnya aku memang berniat mendengarkan
siarannya. Tapi... melihat bagaimana berlebihannya dia ketika memintaku untuk
mendengar siarannya, mau tak mau membuatku jadi merasa berat untuk tidak
menjahilinya.
“Siang, pendengar
semua!” sapa si penyiar. Dari suaranya, aku tau kalau itu pasti Ditya. “Aku Ditya, tunggu! Aku cowok ya, nama asliku
Aditya, tapi kupikir nama Adit itu terlalu pasaran jadi aku lebih suka
dipanggil Ditya. Yah, soal nama...”
Aku tertawa sendiri mendengar bagaimana hebohnya Ditya
ketika membawakan acara ini. Jujur saja, aku agak terkejut mendengar keahlian
bicara cepatnya yang satu itu. Selama ini dia biasa saja kok, di hadapanku.
“Siang ini, aku
bakal bacain tiga surat yang beruntung. Hmm... kayak biasa aja, gak ada
penyebutan nama asli di sini. Jadi, semua surat bakal kita samarin nama
pengirimnya. Siang ini, kita dapet dari Didi, Ameta, dan Yuza.”
Mendengar ketiga nama itu, jantungku jadi berdebar-debar.
Bagiku, mendengar isi surat orang lain merupakan suatu hal yang bisa dibilang
lucu dan mendebarkan. Bagi si penulis surat, terkadang rasanya seperti ditelanjangi
habis-habisan lantaran hampir semua isi hatinya dibocorkan di depan umum.
Mungkin itu sebabnya mengapa acara ini melarang penggunaan nama asli si
pengirim.
“Oke, pertama kita
baca surat dari Didi. Tebakanku aja sih, ya. Didi ini cewek,” lanjut Ditya.
“Isinya gak panjang, loh! Jadi,
katanya... Ditya, cinta itu kejutan. Cinta itu gak bisa diprediksi dan gak bisa
dipaksa. Cinta itu tidak berdasar pada fisik, batin, ekonomi, dan lainnya.
Cinta itu bagaimana orang bisa nyaman menjadi dirinya sendiri ketika bersama
dengan orang yang dia cintai. Jadi, karena aku ngerasa nyaman jadi diriku
sendiri saat bersama kamu, itu artinya aku cinta kamu.”
Aku tertawa kecil mendengar isi surat itu. Ya ampun,
bisa-bisanya berkata manis seperti itu!
“Wow, kalo ini
surat dari cewek, aku beruntung banget,” sambung Ditya sambil terkekeh. “Tapi kalo surat ini dari cowok, artinya,
selamat buat Ditya Anadamira Putri karena lo bener-bener beruntung. Orang se-sweet ini haram ditolak. Camkan itu!”
Kalo yang ngirimnya cowok sih, aku gak bakal nolak, batinku. Tapi itu juga kalo gak ada
kamu yang ngisi hati aku, Dit.
*
Ditya selesai siaran pukul empat sore. Aku memutuskan
untuk menunggunya selesai siaran. Lagi pula, ada hal yang ingin kusampaikan
pada Ditya.
“Ty! Nunggu aku beres siaran?” sapa Ditya begitu keluar
dari ruang siarannya.
“Iya, masih ada urusan?” tanyaku padanya.
Ditya menggeleng lalu menggamit pergelangan tanganku.
“Pulang, yuk!”
Aku tersenyum kecil lalu mengangguk.
*
“Tadi kamu denger siaran aku, kan?” tanya Ditya ketika
kami sedang dalam perjalanan pulang.
Aku mengangguk. “Didi itu... gimana pendapatmu?”
“Manis,” jawab Ditya cepat. “Udah gitu, dia kayaknya
jujur banget. Gak pake malu, dia ngaku kalo dia cinta sama salah satu dari kita
berdua.”
Aku tersenyum. “Kayaknya itu buat kamu, deh.”
“Loh? Emang kenapa, Ty? Gak mau ditembak cowok sweet?”
“Bukan gitu,” bantahku sambil menggeleng pelan. “Ngapain
juga bahas aku, Dit? Lagian, bukannya Didi udah fix cewek, ya?”
“Oh, ya? Kenapa?”
“Dia bilang Ditya, bukan?” Ditya mengangguk. “Bukannya
aku dikenal sebagai Tya sekarang?”
Ditya terdiam sejenak. “Iya juga, ya? Jadi surat itu
buatku?”
Aku tersenyum kecil lalu mengangguk pelan.
“Nyebarin isi surat cinta buat diri sendiri di radio,”
gumam Ditya pelan. “What a genius.”
Aku tertawa kecil lalu bertanya, “Dit, kalo kamu berhasil
tau Didi itu siapa, kamu bakal nembak dia?”
“Aku ragu soal itu deh, Ty,” jawab Ditya. “Yah, mau
gimana juga, aku tau diri kalo aku bukan tipe cowok macho yang bisa bikin cewek
meleleh. Aku cowok yang apa adanya, terus masih childish. Gak ada jaminan hubungan berhasil kalo sama aku.”
Aku tersenyum kecil. Ditya sejak dulu tidak berubah,
selalu berpikir jauh ke depan.
“Tapi kalo si Didi bisa tahan sama aku, yah, itu sih,
terserah dia,” lanjut Ditya. “Feel free aja.”
Aku mengangguk. “Jadi intinya itu mah, gimana Didi?”
“Yup,” jawab Ditya sambil mengangguk tegas. “Aku sih,
mau-mau aja sama dia. Cuma... kasian dianya, Ty.”
“Aku ngerti.”
“Tya emang selalu ngerti,” ujarnya puas. “Eh, nyampe nih,
di rumahmu. Aku boleh mampir dulu, gak?”
Aku menatapnya heran. “Ngapain?”
Ditya meringis. “Numpang ke toilet.”
Aku tertawa lalu memukul pelan lengannya. “Ya udah,
sana.”
Ditya terkikik. “Makasih.”
*
Keesokan paginya, aku sengaja tiba di sekolah lebih pagi
dari biasanya. Aku mengeluarkan secarik amplop kuning dari dalam tasku. Setelah
berpikir selama beberapa menit, akhirnya aku meletakkan amplop kuning itu di
laci sebuah meja di ujung kelas. Setelah itu, aku buru-buru duduk di samping
meja tersebut. Ini sudah pukul 6:50. Lima menit lagi, Ditya akan tiba.
“TYA!”
Eh, ternyata aku salah...
“Kamu bukannya nungguin malah ninggalin,” protes Ditya.
“Syukur aku gak pundung!”
Aku tersenyum. “Kamu lama, sih.”
“Apa? Lima menit aja dibilang lama?” tanya Ditya tak
percaya. “Kamu hidup di bumi kan, selama ini?”
Aku mendecak. “Kamu pikir aku apa? Alien?”
Ditya mengangkat kedua bahunya lalu duduk di kursi
sebelahku. “Soalnya kamu on time
banget.”
“Bagus, dong? Supaya gak telat.”
Ditya terkekeh. “Iya deh, aku emang tukang tidur,”
katanya sambil menaruh tas ranselnya di laci meja. “Tapi seenggaknya kan, aku
selalu—eh, ini apa?”
Aku menatapnya heran. “Apa?”
“Ada kertas,” jawab Ditya sambil menarik tangannya keluar
dari laci tersebut. “Eh, ternyata amplop.”
“Buka dong, aku mau baca,” pintaku.
“Aku bacain, deh,” ujar Ditya sambil membuka amplop
tersebut. “Dear Ditya, aku denger
siaran kamu kemarin and it was super cool.
Buat supaya kamu tau aja, suratku kemarin emang merujuk ke kamu dan sama sekali
bukan buat Ditya Anadamira Putri. Aku ini cewek, Dit.”
“Kubilang juga apa!” potongku sambil terkikik. “Surat itu
emang buat kamu, Dit.”
Ditya terkekeh pelan. “Tapi gak apa-apa, kesamaan nama
kalian kan, emang gak disengaja,” lanjutnya. “Aku pingin banget kamu bales
surat ini. Bisa gak, kamu bales dan tinggalin surat ini di laci mejamu? Aku
bakal kasih balesannya besok. Didi.”
Aku tersenyum. “Jadi, mau dibales apa?”
Ditya mengetuk dagunya pelan. “Gimana kalo... makasih
udah bergabung dalam Ditya Fans Club?”
“Itu nggak banget.”
“Terus apa, dong?” tanya Ditya bingung. “Makasih buat
suratmu, kalo boleh tau, kenapa kamu bisa suka sama aku?”
Aku tertawa. “Boleh.”
“Ngomong-ngomong, amplopnya lucu ya, warna hijau muda,”
komentar Ditya. “Ini kan, warna favorit kamu?”
Aku hanya tersenyum kecil.
*
Siangnya setelah pelajaran musik berakhir, Ditya
kelihatan panik. Ketika bel berbunyi, dia buru-buru membereskan tasnya lalu
berpesan kepadaku, “Ty, aku ada kumpul sama anak-anak broadcast. Bisa titip taruh surat ini di kelas? Eh, di laci mejaku
maksudnya.”
Aku mengangguk kecil.
“Makasih, Ty! Kamu the
best!”
Aku tersenyum kecil. Setelah itu, ia berjalan
meninggalkanku. Karena sudah berjanji untuk menaruh suratnya, akhirnya aku
berbalik menuju kelas kami.
Jujur saja, aku penasaran dengan isi surat Ditya untuk
Didi. Bolehkah aku melihat isinya? Ditya kan, tidak melarangku untuk
membacanya. Dia hanya belum sempat memperlihatkannya padaku.
Dengan sigap kubuka amplop tersebut dan mengambil surat
Ditya untuk Didi yang ada di dalamnya. Setelah membuka lipatan pada surat
tersebut, aku mulai membacanya.
Dear Didi, ah, aku gak tau harus bilang apa. Yang jelas, makasih banget udah jadi tokoh fiktifku buat nyatain perasaanku ke Tya.
Ditya.
Hah? Apa maksudnya?
“Udah kuduga kamu bakal baca surat itu.”
Tubuhku menegang, napasku tercekat, dan jantungku
berdebar-debar. Aku berbalik dan menemukan sosok Ditya di hadapanku. “Di-Ditya?
Katanya tadi ada kumpul...”
Ditya menggeleng. “Aku sengaja bohong karena mau lihat
reaksi kamu.”
“Reaksi apa?”
Ditya menunjuk surat yang kini kupegang. “Didi.”
“Ke-kenapa soal Didi?”
“Biar kujelasin dari awal,” ujar Ditya. “Dimulai dari
surat Didi waktu siaran pertamaku. Kamu tau orangnya?”
Aku menggeleng.
“Kenapa kamu mikir kalo Didi itu cewek?”
“Soalnya dia bilang Ditya, jadi—“
“Nah! Itu kamu salah besar!” potong Ditya. “Ditya itu
bisa jadi kita berdua! Gak ada jaminan kalo semua orang manggil kamu Tya, kan?”
Aku terdiam.
“Terus, surat yang tadi pagi,” kata Ditya. “Apa kamu gak
sadar kalo sepagi itu yang ada di sekolah cuma kita berdua?”
Aku tercengang. “Maksudmu, Didi itu aku?”
Ditya menggeleng. “Aku cuma mau bilang kalo Didi atau
orang yang mengaku sebagai Didi adalah salah seorang dari kita.”
“Terus?”
“Terus... soal surat balesanku,” lanjutnya. “Kamu mikir
gak sih, kenapa aku nulis kayak gitu?”
Aku mengangguk kecil.
“Didi itu cuma tokoh fiktif, Ty,” jelas Ditya. “Didi gak
nyata. Didi kupake buat nyatain perasaanku ke kamu.”
Mataku membelalak. “Te-terus surat di radio?”
“Itu dariku buatmu,” aku Ditya. “Makanya kubilang haram
ditolak. Eh, tapi... itu terserah kamu, sih...”
“Surat dari Didi tadi pagi itu?”
“Itu punyaku. Ada dua alasan kenapa aku bikin surat dari
Didi.”
“Apa?”
“Satu, aku mau bikin kamu yakin kalo Didi emang cewek. Terus
kedua—“
“Jahat kamu, Dit!” potongku sebal. “Pagi ini juga aku
ngirim surat ke kamu! Aku mau ngaku sebagai Didi gara-gara surat di radio itu!
Makanya aku ngotot bilang kalo Didi itu cewek, supaya aku bisa jadi dia!”
“Tya...?” Ditya menatapku tidak percaya. “Kamu juga suka
sama aku?”
Aku terdiam. Memalukan, kenapa bisa sampai kelepasan?
Ditya tertawa. “Alasan keduaku itu untuk mancing reaksi
kamu, Ty,” aku Ditya. “Aku tau kok, kalo kamu kirim surat tadi pagi. Suratnya
kusimpen, loh.”
Aku masih diam. Tanpa sadar, wajahku memerah.
“Kalo gak salah, isinya itu gini.” Ditya berdeham. “Halo,
Ditya, aku Didi. Cuma mau bilang kalo surat kemarin dari cewek, bukan cowok.
Aku bener-bener suka kamu.”
Wajahku panas. Oh, bagus.
“Sebenernya, Didi itu gak pernah ada,” ujarnya. “Didi
cuma nama fiktifku. Dan Ditya yang kusebut-sebut di siaran kemarin bukan Aditya
Nugraha melainkan Ditya Anadamira Putri.”
Uh, sial. Wajahku benar-benar panas sekarang.
“Aku cuma mau kamu tau,” lanjutnya. “Kalo aku sayang
banget sama kamu.”
Oke, aku menangis. Biarlah, yang penting Ditya juga punya
perasaan yang sama sepertiku...
Itu sudah cukup.
*
No comments:
Post a Comment